Lawan Perundungan: Berani Itu Perlu, tapi Tidak Cukup

Ketika aku bergabung dengan ekstrakurikuler ini di sekolahku, tidak kuharapkan perlakuan lemah lembut. Sudah kubayangkan latihan fisik yang cukup keras, sesuatu yang perlu untuk mempersiapkan  kami agar bisa bertahan di bidang yang kami geluti. Bayanganku meleset. Pandemi membuat kami  harus lebih banyak “latihan” daring.

Menu latihan yang semula kuharapkan adalah hal-hal  yang seru tentang bidang kami, berkembang menjadi rangkaian pertemuan yang tidak jelas.  Pertemuan berlangsung malam hari di atas jam sembilan, berlangsung berkepanjangan, substansinya  tidak jelas, dan junior tidak memiliki hak kecuali menyimak manis. Ketika junior minta izin karena  harus mengurusi kegiatan lainnya, lazim terdengar komentar sarkastis, “Iya deh si paling sibuk organisasi.”

“Acaranya bakal sukses banget nih,” atau “Ditunggu ya, orang penting…”

Puncaknya,  ketika kami gagal bergabung karena acara rapat kepanitiaan pun menyita waktu hingga tengah malam,  muncul komentar di grup, “Lebih baik ekstrakurikuler ini mati daripada sumber daya manusianya seperti sampah.”

Mulanya, aku dan teman-teman junior menjalani proses ini sebagai bagian dari inisiasi dalam  organisasi. Perlahan-lahan, aku merasa bahwa perasaan cemas mengantisipasi undangan pertemuan  itu tidak seharusnya kurasakan. Ekstrakurikuler ini seharusnya menjadi tempatku untuk belajar,  membangun pertemanan, dan bersenang-senang. Bertolak belakang dengan hrapanku, yang kualami malah deg-degan membuka grup dan merasa tidak berdaya di hadapan para senior.

Setelah disamakan dengan sampah itu, aku menolak bungkam dan meributkan tekanan yang diberikan  oleh senior. Ketika aku dipersilakan keluar, aku pun keluar dan memberikan laporan kepada Pembina.  Singkat cerita, baru dari laporanku itulah Pembina memahami pola kegiatan yang terjadi selama ini,  kemudian membuat garis-garis yang lebih tegas tentang aturan organisasi, serta melakukan  pengawasan yang lebih ketat.

 

Ironi Normalisasi

Ada dua jenis reaksi ketika orang mendengar ceritaku. Pertama, seperti guru Pembina  ekstrakurikulerku, yang kaget mendengar praktik seperti itu masih berlangsung dan prihatin bahwa junior mau diperlakukan demikian. Reaksi kedua, yang sayangnya lebih jamak, adalah… tidak kaget. 

“Masuk sekolah ini, ya tahu risikonya.”

“Memang begitu tradisi di ekskul ini.”

“Dulu gue juga digituin, ntar lo bisa gituin junior.”

“Ini latihan menghadapi dunia nyata, biar lo siap mental.”

Kelompok reaksi kedua di atas adalah apa yang disebut normalisasi, ketika hal yang seharusnya  dipandang aneh justru dianggap biasa saja. Senioritas, kondisi di mana orang yang lebih tua atau masuk  lebih dulu di sebuah organisasi memiliki privilese,(i) menjadi norma. Senior boleh melakukan dan  mengatakan apa saja kepada junior. Sebaliknya, perasaan takut untuk berangkat ke sekolah (tepatnya, bertemu senior) dan munculnya kepatuhan tanpa batas (yang memang diharapkan para senior), adalah  normalitas yang diharapkan. Lazim muncul pembenaran bagi perilaku ini: senioritas ini bermanfaat  karena mendidik sopan-santun, disiplin, mental kuat, dan — seaneh apa pun kedengarannya — terampil  menggunakan bahasa baku.

Senioritas yang melebar ini bekerja dengan sistem turun-temurun. “Semua orang merasakan kok  sakitnya diinjak-injak saat masih junior, nanti nih ketika kita jadi senior, bisalah balas dendam”. Akibatnya, roda perlakuan semena-mena pun terus berputar. Mudah ditebak, orang-orang yang punya  cukup keberanian untuk melawan, justru dianggap tidak sopan dan dikucilkan oleh senior dan sebaya  karena menyabotase reproduksi alamiah dari sistem senioritas.

 

Senioritas sebagai Akar Perundungan 

Perilaku yang ditunjukkan oleh senior di atas bisa masuk dalam kategori perundungan, yaitu perilaku ketika orang berbuat tidak baik kepada orang lain secara berulang.(ii) Bullying biasanya dilakukan oleh seseorang/kelompok kepada lainnya yang mereka  anggap lebih tidak berdaya — dalam konteks kita, oleh senior kepada junior. Lepas dari umur dan kekuatan fisik, seorang senior mendapat tiket bebas untuk memandang dan memperlakukan juniornya dengan rendah. 

Meskipun perundungan punya banyak bentuk, mulai dari menyakiti secara fisik, mengancam, mengejek nama, menjahili, bahkan mengucilkan, terkadang otoritas abai ketika perundungan tidak mengakibatkan kematian atau cedera serius. Luka batin, self esteem yang rendah, kepercayaan diri yang hilang, hingga perasaan dendam akibat normalisasi perundungan dipandang tidak serius.

Nah, siapa yang rugi dengan perundungan berbasis senioritas, jika betul semua orang akan dapat  giliran? Yang hilang, adalah akal sehat. Di lingkungan kerja modern, perundungan sudah dianggap hal yang buruk.(iii)

Dan syukurlah, pemerintah Indonesia juga percaya hal ini. Sejak 2015, menyusul  kasus-kasus perundungan ekstrem di sekolah-sekolah, Mendikbud mengeluarkan sejumlah peraturan untuk mendorong lahirnya suasana sekolah yang lebih aman dan nyaman bagi para siswa untuk belajar.(iv) Bahkan, Mendikbudristek menyebut perundungan sebagai salah satu dosa besar pendidikan, di samping intoleransi dan kekerasan seksual.(v)

 

Menangkal Perundungan

Aku beruntung karena ketika aku melaporkan kasus ketidaknyamananku dengan perlakuan para  senior, Pembina ekstrakurikuler menanggapi positif. Dari situ, aku belajar bahwa ada beberapa hal  yang harus hadir bersamaan sehingga senioritas berlebihan dan mengarah pada perundungan bisa  dikikis. 

Pertama, perlu peran dua pihak: siswa pelapor dan orang dewasa dalam posisi otoritas, penerima  laporan. Pihak pelapor perlu tegas menolak diinjak-injak dan berani menyuarakan pendapat kepada  senior atau kepada otoritas. Dari pihak penerima laporan, diperlukan komitmen untuk memihak kepada  korban, bahwa masalah harus diselesaikan, bukan dibiarkan atau dinormalisasi. 

Kedua, syarat dari hal di atas adalah pengetahuan. Dari sisi pelapor, pelapor akan lebih percaya diri  bila mereka memahami apa itu perundungan dan hak atas perlakuan manusiawi. Pengetahuan ini akan  menangkal manipulasi dari lingkungan untuk “sabaaar,” “kuat mental,” dan “ini semua akan ada  manfaatnya kelak.” Kebetulan di sekolahku ada program anti perundungan, di situ aku diedukasi  mengenai perundungan dan bagaimana melawannya.

Pengetahuan dan keterampilan juga penting untuk penerima aduan, khususnya mengenai prosedur  penanganan laporan. Mengobservasi Pembinaku, pertama, penting banget bagi orang dewasa untuk  mendengarkan penjelasan korban dan mencoba memahami ketidakberdayaan para junior di depan  senior. Kedua, mencoba mengklarifikasi masalah dengan senior tanpa menyebutkan identitas pelapor

untuk melindungi korban. Ketiga, memberikan teguran dan sanksi kepada senior. Keempat,  mengawasi kegiatan ke depan agar kejadian yang sama tidak terulang, pelapor tidak disalahkan, dan terjadi perubahan budaya.

 

Ayo Berkontribusi

Belajar dari kasusku, aku merasa bahwa budaya yang toxic harus dan bisa dilawan. Aku berani  menyuarakan ketidaksetujuanku atas perlakuan tidak menyenangkan yang kuterima dari senior,  melaporkan, dan menetapkan standar perilaku bagaimana senior juga harus menghormati junior. Nah,  apakah “perang” telah selesai, misi telah tuntas? Sayangnya, belum. Roda regenerasi senioritas masih  terus berputar. Perlu lebih banyak pihak untuk memutus lingkaran setan ini.

Seperti ceritaku, perundungan dan senioritas tidak bisa dilawan oleh para remaja sendirian. Namun,  penting bagi kamu juga untuk berkontribusi, dengan berani bersikap dan bersuara. Yuk!

 

 

—————————-

(i) Lihat: https://www.merriam-webster.com/dictionary/seniority.

(ii) Lihat Panduan Fasilitator Program Roots: Pencegahan Perundungan (Bullying) di SMP, SMA, dan SMK (UNICEF, 2017).

(iii) Lihat, misalnya https://www.fairwork.gov.au/employment-conditions/bullying-sexual-harassment-and-discrimination-at work/bullying-in-the-workplace dan https://www.ccohs.ca/oshanswers/psychosocial/bullying.html.

(iv) Pemerintah Indonesia telah menetapkan perlindungan anak sebagai prioritas nasional, khususnya di konteks sekolah diatur dalam UU  Perlindungan Anak no. 35/2014, serta di antaranya Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak  Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

(v) Lihat antara lain: https://www.kompas.com/edu/read/2021/03/08/180000771/mendikbud–masih-ada-3-dosa-besar-dalam-dunia pendidikan-indonesia?page=all.